Kamis, 06 November 2014

Cara Membuat Jurnal Bersih untuk Praktek Farmasetika

Agar ada gambaran jurnal bersih itu seperti apa, bisa dilihat di bawah ini:


jadi jurnal bersih itu, dibuat dua garis yang membagi dua halaman, biasanya bagian paling kiri lebih sempit dari pada bagian yang sebelah kanan. Bagian kiri digunakan untuk menulis resep, keterang suatu zat mengandung apa saja, keterangan menggunakan basis apa, dan keterangan-keterangan lainnya, kalau ada yang mesti dibuatkan copy resepnya bisa ditulis di bagian yang kiri ini. Dan bagian kanan inilah yang kita gunakan untuk membuat tabel deskripsi obat, dan diikuti dengan penulisan untuk (secara berurutan) kelengkapan resep, OTT, usul, perhitungan bahan, perhitungan TM, cara pembuatan, dan Penandaan.

Dalam hal ini, saya akan menerangkan pembuatan jurnal bersih untuk resep berikut:

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, di bagian kiri, kita tuliskan resep, selain itu kita menuliskan keterangan mengenai kandungan suatu zat seperti gambar dibawah ini. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam menuliskan deskripsi obat di dalam tabelnya nanti.
Nah, saya kira untuk resep yang ini keterang yang mesti ditulis di bagian kiri cukup itu saja, sekarang saatnya beralih ke bagian kanan. Yang pertama kita buat di bagian kanan ini adalah tabel deskripsi obatnya. Secara umum, yang baru saya pelajari di semester 1 farmasi ini, di dalam tabel tersebut terdiri dari 6 kolom. Yaitu kolom DO (singkatannya mungkin "Deskripsi Obat"), UD (Usual Dose), TM (Takaran Maksimum), Kelarutan, Khasiat, dan Referensi.

Di dalam kolom DO, yang harus kita tuliskan adalah jenis obat tersebut, apakah bebas (B), bebas terbatas (BT/T), keras (K), atau narkotika, untuk mengetahui hal itu, kita bisa melihatnya di buku ISO (Informasi Spesialite Obat), tepatnya ada di setiap sebelah atas kanan bagian data obat yang kita cari yang bercetak tebal. Terkadang ada beberapa data zat yang kita tidak temukan di dalam buku ISO, kemungkinan zat-zat tersebut bebas, misalnya kebanyak zat yang di buat untuk membuat basis krim tertentu. Tetapi, belum tentu juga semua zat yang digunakan untuk membuat basis krim bergolongan obat bebas. Jadi, untuk lebih pastinya saya kurang tahu mendapatkan datanya dari mana lagi selain dari buku ISO tersebut.

Kemudian untuk kolom UD, kita bisa mendapatkan datanya dari FI III, bisa ditemukan di data zat yang kita cari langsung melalui indeks, atau jika ada sudah ada di dalam tabel hal 959. Jika tidak tercantum di FI III, bisa kita tulis tanda setrip "-".

Dan untuk kolom TM, menurut saya hanya bisa ditemukan di tabel yang sama di FI III hal 595, namun terkadang ada juga beberapa zat yang bergolongan keras yang tidak tercantum di sana, dan ternyata ada TM nya di ISO, data tersebut bisa juga kita ambil dari ISO.

Mengenai data kelarutan juga bisa kita temukan di FI III, selain itu kita juga bisa menemukannya di FI IV dan juga di Martindale.

Untuk kolom khasiat bisa kita dapatkan datanya dari FI III ataupun di ISO, dan untuk yang terakhir bagian referensi, kita hanya menuliskan dari buku apa dan halaman berapa kita menemukan data zat-zat tersebut. Sekali lagi, apabila ternyata tidak dapat ditemukan data zatnya dari beberapa buku yang sudah saya rekomendasikan sebelumnya, saya mohon maaf, saya juga tidak begitu mengetahui bagaimana cara mendapatkannya, secara umum seperti itu menurut saya.

Kembali ke dalam hal pembuatan tabel sesuai dengan resep yang saya ambil sebagai contoh, tabel deskripsi obatnya akan menjadi seperti ini:


 Selanjutnya kita bisa mulai untuk menulis hal yang berikutnya, yaitu untuk romawi pertama, kelengkapan resep yang mesti kita tulis itu adalah hal yang tidak ada dalam resep, misal resepnya seperti ini:

Untuk resep di atas, ada satu yang kurang dari kelengkapan resep yaitu paraf dokter, sehingga karena satu lagi bagian tidak ada dalam resep tersebut maka resep tersebut belum lengkap, jadi yang akan kita tulis seperti ini:
I. Kelengkapan Resep:
   - Tidak ada paraf dokter

Begitu seterusnya apabila ada bagian yang kurang, maka ditulis di kelengkaan resep.

Untuk yang kedua yaitu OTT (Obat Tak Tercampurkan), bagaimana cara mengisinya, bisa dilihat di martindale, di bagian yang Incompatibility, sebenarnya menurut saya, di bagian OTT ini tidak cuma untuk zat yang tak tercampurkan saja, hal lainnya yang mengganjal juga bisa ditulis di sini. OTT untuk resep ini adalah sebagai berikut:
II. OTT:
    - Neomisin sulfat dalam basis anionik akan mengendap
    - Signa tidak sesuai

Bagian berikutnya yaitu usul, yang kita tulis untuk bagian ini adalah, perbaikan yang mesti kita lakukan dalam menyelesaikan masalah pada OTT di atas, jadi usulnya seperti ini:
III. Usul:
      - Menggunakan basis Husa's
      - Signa diganti sb-q dd applic loc dol

Kemudian untuk romawi keempat, yaitu perhitungan bahannya sesuai dengan yang tercantum di resep, bisa kita hitung seperti di bawah ini:
IV. Perhitungan bahan:
     - Kliokinol: 2/98 x 20 gram = 0,4082 gram = 400 mg
     - Fluosinolon asetonid: 0,25mg/gram x 20 gram = 5 mg
           Pengenceran fluosinolon asetonid 5 mg
           Fluosinolon asetonid = 50 mg
           Tambahkan basis sampai 500 mg, jadi basis = 450 mg
           Hasil pengenceran: 5mg/50mg x 500 mg = 50 mg
           Perbandingan pengenceran: 50:500 = 1: 10
           Sisa pengenceran: 500 mg - 5 mg = 450 mg
    - Neomisin Sulfat: 5mg/gram x 20 gram = 100 mg
    - Basis Husa's: 20.000 mg + 450 mg = 20.450 mg
           Basis diubah menjadi 21.000 mg (dibulatkan)
           sehingga:
           Vaselin Album: 25% x 21 gram = 5,25 gram
           Setil Alkohol: 20% x 21 gram = 4,2 gram
           Emulsifier: 2% x 21 gram = 420 mg
               Tween: 64% x 420 mg = 270 mg
               Span: 36% x 420 mg = 150 mg
           Nipagin: 0,18% x 21 gram = 50 mg
           Aqua: 52,82% x 21 gram = 11,0922 = 11 ml

Dan untuk bagian berikutnya yaitu perhitungan TM. Di dalam resep ini, tidak ada zat yang memiliki TM, oleh karena itu bisa kita beri tanda setrip saja:
V. Perhitungan TM:
    -

Selanjutnya adalah cara pembuatan, bisa seperti ini:
VI. Cara Pembuatan:
      1. Menyiapkan alat dan bahan
      2. Membuat basis:
          a. Mengambil air panas 11 ml dengan cara mengkalibrasinya terlebih dahulu
          b. Melarutkan nipagin 50 mg ke dalam air panas tersebut, kemudian tambahkan tween 270 mg
              aduk hingga homogen
          c. Meletakkan vaselin album 5,25 gram ke dalam cawan penguap, kemudian tambahkan dengan setil
              alkohol 4,2 gram, dan tambahkan pula dengan span 150 mg, kemudian letakkan cawan penguap
              di atas waterbath
          d. Menuangkan fase minyak dan fase air secara bersamaan ke dalam mortir panas, kemudian aduk
              hingga homogen, usahakan tidak banyak busa atau gelembung, dapat dilakukan dengan cara
              mengaduknya hanya dalam satu arah
     3. Membuat pengenceran fluosinolon asetonid
     4. Menimbang basis yang dibutuhkan
     5. Memasukkan neomisin sulfat 100 mg ke dalam basis, gerus hingga homogen
     6. Memasukkan hasil pengenceran fluosinolon asetonid, gerus hingga homogen
     7. Memasukkan kliokinol ke dalam campuran tersebut, gerus hingga homogen
     8. Memasukkan campuran ke dalam wadah dan beri etiket serta label NI

Dan bagian terakhir adalah dengan memberikan penandaan seperti di bawah ini:
VII. Penandaan:
       Wadah: pot plastik
       Etiket: biru
       Label: NI

Demikianlah cara bagaimana membuat jurnal bersih dari suatu resep yang diberikan oleh dokter. Semua yang saya berikan di sini berdasarkan pengetahuan saya selama mendapatkan mata kuliah praktik Farmasetika semester I, apabila ada kesalahan mohon maaf, apabila berkenan memperbaikinya saya akan sangat senang. Dan apabila ada pertanyaan mengenai posting ini bisa ditulis di kolom komentar di bawah ini,

Rabu, 05 November 2014

D

PENDAHULUAN

Kalau Apoteker boleh berkomunikasi dengan pasien, apakah akan membingungkan pasien dandapat menganggu hubungan pasien dengan dokter yang merawatnya. Selama ini tidak banyak masalah-masalah mengenai obat yang dijumpai di bangsal dan cukup diselesaikan oleh perawatdan nasehat dokter. Kehadiran Apoteker akan menambah biaya pengeluaran bagi Rumah Sakityang selama ini sudah dirasakan berat oleh pasien dan rumah sakit. Apoteker tidak memiliki pengalaman klinis, keadaan ini akan menyulitkan komunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya.Apakah yang akan dilakukan oleh Apoteker apabila menjumpai pengobatan yang dianggap tidak rasional? Inilah beberapa komentar yang sering didengar di antara perawat dan dokter ketika pengenalan program pelayanan farmasi klinis disosialisasikan di rumah sakit. Begitu asing dan penuh pertanyaan bagi tenaga kesehatan lainnya di rumah sakit yang selama ini hanya sebataslayanan farmasi produk (perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian).

a.     Pengantar farmasi
Farmasi berasal dari kata “PHARMACON” yang berarti obat atau racun. Sedangkan pengertian farmasi adalah suatu profesi di bidang kesehatan yang meliputi kegiatan-kegiatan di bidang penemuan, pengembangan, produksi, pengolahan, peracikan, dan distribusi obat.
Tanggung jawab seorang ahli farmasi adalah bertanggung jawab atas kesehatan dan keselamatan manusia/pasien yang membutuhkannya.
Dalam ilmu farmasi ada empat bidang yang dipelajari, yaitu farmasi klinik, farmasi industri, farmasi sains, dan farmasi obat tradisional.
Kemampuan penunjang yang harus dimiliki adalah senang dan familiar dengan fisika, kimia, biologi, dan matematika; ketelitian dan kecermatan; hapalan dan kemampuan analisa; dan suka bekerjadi laboraturium.



b.    Ilmu farmasi
 Farmasi didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan bahan obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan pada pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan mengenai identifikasi, pemilahan, aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan, analisis, dan pembakuan bahan obat dan sediaan obat. Pengetahuan kefarmasian mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai dan aman, baik melalui resep dokter berizin, dokter gigi, dan dokter hewan, maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara menyalurkan atau menjual langsung kepada pemakai.
Sebagian besar kompetensi farmasi ini diterjemahkan menjadi produk yang dikelola dan didistribusikan secara professional bagi yang membutuhkannya. Pengetahuan farmasi disampaikan secara selektif kepada tenaga professional dalam bidang kesehatan dan kepada orang awam dan masyarakat umum agar pengetahuan mengenai obat dan produk obat dapat memberikan sumbangan nyata bagi kesehatan perorangan dan kesejahteraan umum masyarakat.

c.      Perkembangan farmasi
            Sudah terjadi perubahan pekerjaan kefarmasian di apotek dan peranan apoteker lambat laun berubah dari peracik (compunder) dan supplier sediaan farmasi ke arah pemberian pelayanan dan informasi dan akhirnya berubah lagi sebagai pemberi kepedulian pada pasien. Disamping itu, ditambah lagi tugas seorang apoteker adalah memberikan obat yang layak lebih efektif, lebih aman serta memuaskan pasien. Pendekatan cara ini disebut dengan pharmaceutical care (asuhan kefarmasian)

d.    Singkatan atau nama latin
    Daftar Singkatan Latin dalam Resep Dokter – Dokter menulis resep obat untuk pasiennya menggunakan singkatan bahasa latin yang sudah lazim. Akan tetapi, pada orang awam hal ini terlihat lebih sulit dimengerti karena bahasanya yang lain daripada yang lain.
 Contoh dari singkatan atau nama latin dalam kefarmasian :
·         R/ ecipe ambillah
·         m.f.l.a. misce fac lege artis campur dan buatlah menurut cara semestinya
·          pulv pulveres  serbuk terbagi(puyer)
·         d.t.d da tales dosis berikan sebanyak dosis tersebut
·          No numero sejumlah
·         signa tandailah
·         3dd.pulv.I ter de die pulveres I 3xsehari 1 puyer

e.      Pengelolahan resep
Begitu banyaknya resep obat yang masuk ke suatu apotek, baik itu obat bebas, bebas terbatas, keras, Narkotika dan psikotropika, maka pihak apotek perlu melakukan pengelolaan pada resep obat yang diterima. Berikut adalah pengelolaannya.

A . Pengelolaan Obat Wajib Apotek (Owa)
Apoteker dapat menyerahkan Obat Keras tanpa resep dokter kepada pasien. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.347/MENKES/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek. Adapun latar belakang dari keputusan Menteri Kesehatan tersebut adalah :
1)Meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman, dan rasional.
2)Meningkatkan peran apoteker dalam KIE. 
Oleh karena itu perlu ditetapkan keputusan menteri kesehatan tentang obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter di apotek. Hal ini tercantum dalam Permenkes No. 919/Menkes/Per/1993 tentang kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep, yaitu :
1)Tidak dikontraindikasikan untuk wanita hamil, anak dibawah 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
2)Tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit.
3)Penggunaan tidak memerlukan cara/alat khusus yang harus dilakukan oleh/bantuan tenaga kesehatan.
4)Untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia
5)Memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam keputusan ini, pelayanan OWA yang dilakukan oleh apoteker harus memenuhi cara dan ketentuan, diantaranya sebagai berikut :
1)Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien
2)Membuat catatan pasien dan obat yang diberikan
Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakai, kontra indikasi, efek samping, dan lain-lain yang perlu diperhatikan pasien.
B. Pengelolaan Narkotika Dan Psikotropika
Tujuan diadakannya pengelolaan narkotika dan psikotropika adalah untuk mencegah penyalahgunaan obat narkotika dan psikotropika. Sehingga obat-obat narkotika dan psikotropika harus ditangani secara khusus.
1)Narkotika
Narkotika berdasarkan UU Kesehatan No. 2 tahun 1997 pasal 1, adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

a)Pengeluaran Narkotika
Narkotika hanya diberikan kepada pasien yang membawa resep dokter. Resep yang terdapat narkotika diberi tanda garis bawah berwarna merah kemudian dipisahkan untuk dicatat dalam buku register narkotika. Pencatatan meliputi tanggal, nomor resep, tanggal pengeluaran, jumlah obat, nama pasien, alamat pasien, dan nama dokter. Dilakukan pencatatan tersendiri untuk masing-masing nama obat narkotika. Untuk setiap pengeluaran narkotika dicatat dalam kartu stelling, kemudian dicatat pada buku narkotika yang digunakan sebagai pedoman dalam pembuatan laporan bulanan yang dikirim ke Dinas Kesehatan Propinsi, Balai Besar POM Propinsi, Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi dan sebagai arsip yang dilaporkan setiap tanggal 10 tiap bulan. Untuk setiap penggunaan obat tersebut dicatat jumlah pengeluaran dan sisa yang ada, jika ada perbedaan dilakukan pengontrolan lebih lanjut. Hal ini untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan obat.
b)Pemusnahan Narkotika
Sesuai dengan pasal 60 dan 61 UU No. 22 tahun 1997 pemusnahan narkotika harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
(1)Dikarenakan obat kadaluwarsa
(2)Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan untuk pelayanan kesehatan
(3)Dilakukan dengan menggunakan berita acara yang memuat:
    (a)Nama, jenis, sifat dan jumlah
    (b)Keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun.
    (c)Tanda tangan dan identitas pelaksana dan pejabat yang menyaksikan (ditunjuk oleh MenKes).
(4)Ketentuan lebih lanjut syarat dan tata cara pemusnahan diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
c)Pelaporan
Laporan penggunaan narkotika setiap bulannya dikirim ke Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial kabupaten/kota dan dibuat tembusan ke Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial propinsi, Balai Besar POM  dan untuk arsip apotek. Pelaporan selambat-lambatnya tanggal 10 tiap bulannya. Laporan bulanan narkotika berisi nomor urut, nama sediaan, satuan, jumlah pada awal bulan, pemasukan, pengeluaran, dan persediaan akhir bulan serta keterangan. Khusus untuk penggunaan morphin, pethidin, dan derivatnya dilaporkan dalam lembar tersendiri disertai dengan nama dan alamat pasien serta nama dan alamat dokter.
2)Psikotropika
UU No.5 tahun 1997 tentang psikotropika menyatakan bahwa psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun sintesa yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. 
Berdasarkan UU No.5 Tahun 1997, pasal 3 tentang Psikotropika, tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah:
a)Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan.
b)Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropik.
c)Memberantas peredaran gelap psikotropik

(1)Pengadaan 
Menurut UU No.5 tahun 1997 pemesanan psikotropika menggunakan surat pesanan yang telah ditandatangani oleh apoteker kepada PBF atau pabrik obat. Penyerahan psikotropika oleh apoteker hanya dapat dilakukan untuk apotek lain, Rumah Sakit, Puskesmas, Balai Pengobatan, dokter dan pelayanan resep dokter
(2)Penyimpanan
Penyimpanan obat golongan psikotropika belum diatur oleh peraturan perundang-undangan. Obat-obat psikotropik cenderung disalahgunakan, maka disarankan penyimpanan obat-obat golongan psikotropika diletakan tersendiri dalam rak atau lemari khusus.
(3)Pengeluaran
Penggunan psikotropika perlu dilakukan monitoring dengan mencatat resep-resep yang berisi psikotropika dalam buku register psikotropika yang berisi nomor, nama sediaan, satuan, persediaan awal, jumlah pemasukan, nama PBF, nomor faktur PBF, jumlah pengeluaran, persediaan akhir, nama pasien dan nama dokter.
Penyerahan psikotropika menurut pasal 14 UU No. 5 tahun 1997:
a)Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan dan dokter.
b)Penyerahan psikotropik oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.
c)Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan, puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan kepada pengguna/pasien.
d)Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
e)Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal:
   (1)Menjalankan praktek terapi dan diberikan melalui suntikan.
   (2)Menolong orang sakit dalam keadaan darurat.
   (3)Menjalankan tugas di daerah terpencil.
f)Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat diperoleh dari   apotek.
(4)Pemusnahan
Pemusnahan psikotropika dilakukan karena:
(a)Kadaluarsa
(b)Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan.
(c)Dilakukan dengan pembuatan berita acara yang memuat: nama, jenis, sifat dan jumlah, keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun, tanda tangan dan identitas pelaksana dan pejabat yang menyaksikan (ditunjuk MenKes).
(5)Laporan 
Laporan penggunaan psikotropika dikirim kepada Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Balai Besar POM , dan untuk arsip apotek. Pelaporan selambat-lambatnya tanggal 10 tiap bulannya. Laporan bulanan psikotropika berisi nomor urut, nama sediaan jadi (paten), satuan, jumlah awal bulan, pemasukan, pengeluaran, persediaan akhir bulan serta keterangan.
c. Pengelolaan Obat Ed
Obat-obat yang rusak dan kadaluarsa merupakan kerugian bagi apotek, oleh karenanya diperlukan pengelolaan agar jumlahnya tidak terlalu besar. Obat-obat yang rusak akan dimusnahkan karena tidak dapat digunakan dan tidak dapat dikembalikan lagi ke PBF. 
Obat kadaluarsa yang dibeli oleh apotek dapat dikembalikan ke PBF sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati antara kedua belah pihak. Batas waktu pengembalian obat yang kadaluarsa yang ditetapkan oleh PBF 3-4 bulan sebelum tanggal kadaluarsa, tetapi ada pula yang bertepatan dengan waktu kadaluarsanya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 922/MenKes/Per/X/1993 pasal 12 ayat (2), menyebutkan bahwa obat dan perbekalan farmasi lainnya yang karena sesuatu hal tidak dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Pada pasal 13 menyebutkan bahwa pemusnahan yang dimaksud dilakukan oleh Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pengganti, dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek yang bersangkutan, disaksikan oleh petugas yang ditunjuk Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan setempat. Pada pemusnahan dengan bentuk yang telah ditentukan dalam rangkap lima yang ditandatangani oleh Apoteker Pengelola atau Apoteker Pengganti dan petugas Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan setempat. Pemusnahan obat-obat narkotika dan psikotropika yang sudah kadaluarsa dilaksanakan oleh apoteker dengan disaksikan oleh petugas Dinas Kesehatan dan sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek. Sedangkan untuk obat non narkotika-psikotropika dilaksanakan oleh apoteker dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek.  
f.      Penglolahan apotik
Pengelolaan apotek merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukanoleh seorang apoteker dalam rangka memenuhi tugas dan fungsi apotek.Pengelolaan apotek sepenuhnya berada ditangan apoteker, oleh karena ituapoteker harus mengelola secara efektif sehingga obat yang disalurkankepada masyarakat akan lebih dapat dipertanggung jawabkan, karenakualitas dan keamanannya selalu terjaga. Pengelolaan apotek dibedakanatas:
a.      Pengelolaan teknis farmasiBerdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
      No.1332/Menkes/SK/2002,Bab VI pasal 10, dibidang kefarmasian pengelolaan apotek meliputi:
1)Pembuatan, pengelolaan, peracikan, perubahan bentuk,pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat
2)Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalanfarmasi lainnya
3)Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi yang meliputi:
a)Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasilainnya yang diberikan baik kepada dokter atau tenagakesehatan lainnya maupun kepada masyarakat
b)Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat,keamanan, bahaya, mutu obat dan perbekalan lainnya.Hal lainnya yang harus diperhatikan dalam pengelolaan apotek adalah:
1)Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan danmenyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dankeabsahannya terjamin
2)Obat dan perbekalan farmasi lainnya yang karena suatu hal tidak dapat digunakan atau dilarang digunakan, harus dimusnahkandengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang telahditetapkan oleh BPOM.
b. pengelolaan non teknis farmasi
Pengelolaan ini meliputi semua kegiatan administrasi, keuangan,personalia, kegiatan material (arus barang) dan bidang lainnya yangberhubungan dengan apotek.
g.     Permasalahan R/
 Pengertian umum Resep yaitu Permintaan tertulis dari dr, drg, drh kepadaApt untuk membuatkan obat dalam bentuk sediaan tertentu dan menyerahkannya kepada penderita.
·         dr(umum+spesialis) : tak ada pembatasan jenis obat
·         drg: pembatasan jenis obat untuk penyakitgigi
·         drh: tak ada pembatasan jenis obat, hanyauntuk hewan
Bagian-Bagian Resep
·         Inscriptio:identitas prescriberkota dan tanggal reseptanda R/
·         Praescriptio: jenis dan jumlah obat(Remedium Cardinale, R.ajuvan,Corigens,Vehikulum)cara pembuatan atau BSO
·         Signatura:aturan pakai (signa)identitas pasien
·         Subscriptio: paraf prescribertanda tangan (jika Inj.Narkotika)
                    
h.    Farmakope
Farmakope dapat diartikan sebagai Buku resmi yangditetapkan hukum dan memuat standarisasi obat-obat penting serta persyaratannya tentang identitas, kadar kemurnian dsb. Begitu pula metode-metode analisa dan resep-resep sediaan farmasi. Di dalamFarmakope Indonesiadicantumkan pula nama lain, nama generik dannama kimia.
Nama latin adalah nama obat dalam ejaan latin.
Nama Generik (International Non-proprieatary name / INN) adalah nama umum yang  disemua negara tanpa melanggar hak patent yang berlaku untuk obat tersebut.
Nama kimia adalah nama obat yang didasarkan nama unsur-unsur kimia yang membentuknya.Selain buku Farmakope, juga digunakan secara khusus buku lain antara lain Formularium Nasional dan buku Informasi Spesialis Obat (ISO) yang memuat nama-nama patent dan atau spesialit. Obat patent ialah obat produk dari suatuperusahaan dengan nama khas yang dilindungi hukum.
                              
i.       Nama obat
Obat yang dipasarkan tanpa resep dokter atau dikenal dengan nama OTC (Over the Counter) dimaksudkan untuk menangani penyakit-penyakit simtomatis ringan yang banyak diderita masyarakat luas yang penanganannya dapat dilakukan sendiri oleh penderita. Praktik seperti ini dikenal dengan nama self medication (penanganan sendiri).
 OBAT BEBAS
Obat bebas dapat dijual bebas di warung kelontong, toko obat berizin serta apotek. Dalam pemakaiannya, penderita dapat membeli dalam jumlah sangat sedikit saat obat diperlukan, jenis zat aktif pada obat golongan ini relatif aman sehingga pemakaiannya tidak memerlukan pengawasan tenaga medic selama diminum sesuai petunjuk yang tertera pada kemasan obat. Oleh karena itu, sebaiknya obat golongan ini tetap dibeli bersama kemasannya. Obat golongan ini ditandai dengan lingkaran berwarna hijau di Indonesia.Yang termasuk golongan obat ini: obat analgetik/pain killer, vitamin dan mineral. Di Australia obat-obatan herbal dan homeopati termasuk golongan ini, sedangkan di Indonesia obat alami digolongkan sebagai Obat Tradisional (TR) bukan Obat Bebas (OB).
OBAT BEBAS TERBATAS
Seharusnya obat jenis ini hanya dapat dijual bebas di toko obat berizin (karena dipegang seorang Asisten Apoteker (AA) serta apotek (yang hanya boleh beroperasi bila ada Apoteker Pengelola Apotek (APA) karena diharapkan pasien memperoleh informasi obat yang memadai saat membeli Obat Bebas Terbatas (OBT). Di indonesia golongan obat ini ditandai dengan R (bersama dengan golongan obat dengan resep). Contohnya : pain relief, obat batuk, obat pilek dan krim antiseptik. Obat golongan ini ditandai dengan lingkaran berwarna biru, disertai tanda peringatan dalam kemasannya.

j.       Obat esensial
Obat esensial adalah obat  terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya  diagnosis,  profilaksis,  terapi  dan  rehabilitasi,  yang  diupayakan  tersedia  pada  unit pelayanan kesehatan sesuai dengan  fungsi dan  tingkatnya.
Konsep Obat Esensial di  Indonesia mulai diperkenalkan dengan dikeluarkannya  Daftar Obat Esensial Nasional  (DOEN) yang pertama  tahun 1980, dan dengan  terbitnya Kebijakan Obat Nasional pada tahun 1983. DOEN direvisi secara berkala setiap 3-4  tahun.  DOEN yang  terbit sekarang  ini merupakan revisi  tahun 2008.  Komitmen pemerintah melakukan  revisi berkala merupakan prestasi  tersendiri.

k.    Perhitungan dosis obat
Dosis obat merupakan faktor penting, karena baik kekurangan atau kelebihan dosis akan menghasilkan efek yang tidak diinginkan, bahkan sering membahayakan. Yang dimaksud dosis suatu obat adalah dosis pemakaian sekali, per oral untuk orang dewasa, kalau kalau yang dimaksud bukan dosis tersebut diatas harus dengan keterangan yang jelas. Misalnya pemakaian sehari, dosis untuk anak, dosis per injeksi, dan seterusnya.
Macam – macam Dosis
1. Dosis Maksimum ( DM ) adalah dosis / takaran maksimum / terbanyak yang dapat diberikan (berefek terapi) tanpa menimbulkan bahaya.
2. Dosis lazim ( DL ) adalah dosis yang tercantum dalam literatur merupakan dosis yang lazimnya dapat menyembuhkan. Dosis lazim dan dosis maksimum terdapat dalam FI ed III, juga Farmakope lain. Tetapi DM anak tidak terdapat dalam literatur. Maka DM untuk anak dapat dihitung dengan membandingkan kebutuhan anak terhadap dosis maksimum dewasa.
Pada kompetensi menerapkan pembuatan sediaan obat sesuai resep dokter di bawah pengawasan apoteker proses perhitungan dosis lazim menjadi bagian yang sangat penting karena semua bahan obat/ obat harus diperhitungkan Dosis Lazimnya sesuai dengan umur pasien dan dibandingkan dengan dosis obat yang digunakan pasien sesuai resep dokter. Pemakaian/ dosis obat untuk pasien harus tepat atau sesuai dengan Dosis Lazim supaya efek terapi tercapai, jika pada perhitungan dosis ternyata pemakaian obatnya kurang atau lebih dari DL maka harus ditanyakan kepada dokter pembuat resep karena ada banyak hal yang mempengaruhi dosis yang diberikan pada pasien, apabila dokter berkehendak maka resep dapat diracik, sebaliknya jika dokter menghendaki supaya pemakaiannya ditepatkan supaya efek terapi tercapai maka Apoteker/ Asisten Apoteker harus dapat melakukan perhitungan untuk melakukan penyesuaian dosis sehingga jumlah obat akan diganti oleh dokter supaya berefek terapi optimal untu pasien.
3. Dosis toksik adalah takaran obat dalam keadaan biasa yang dapat menyebabkan keracunan pada penderita.
4. Dosis Letalis adalah takaran obat yang dalam keadaan biasa dapat menyebabkan kematian pada penderita, dosis letalis terdiri dari:
a. LD 50 : takaran yang menyebabkan kematian pada 50% hewan percobaan.
b. LD 100 : takaran yang menyebabkan kematian pada 100% hewan percobaan.












Dasar Dasar Ilmu Farmasi
Oleh : Hartadi S,farm M.kes

RESEP

Definisi
Resep menurut SK. Mes. Kes. No. 922/Men.Kes/ l.h adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada Apoteker Pengelola Apotek (APA) untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Resep dalam arti yang sempit ialah suatu permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam bentuk tertentu dan menyerahkannya kepada penderita.dokter gigi, atau dokter hewan kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam bentuk tertentu dan menyerahkannya kepada penderita.

Arti Resep
Dari definisi tersebut maka resep bisa diartikan/merupakan sarana komunikasi profesional antara dokter (penulis resep), APA (apoteker penyedia/pembuat obat), dan penderita (yang menggunakan obat). Resep ditulis dalam rangka memesan obat untuk pengobatan penderita, maka isi resep merupakan refleksi/pengejawantahan proses pengobatan. Agar pengobatan berhasil, resepnya harus benar dan rasional.

Fungsi Resep
Sebuah resep mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

1.      Sebagai perwujudan cara terapi
Artinya terapi seorang dokter itu rasional atau tidak, dapat dilihat dari resep yang dituliskan. Karena bila seorang dokter memberikan suatu terapi, pasti dia akan menuliskan sebuah resep, baik itu pasien rawat jalan ataupun rawat inap. Dari obat-obat yang diberikan akan memberikan gambaran terapi yang diberikan oleh dokter tersebut.
2.      Merupakan dokumen legal
Sebuah resep merupakan dokumen yang diakui keabsahannya untuk mendapatkan obat-obat yang diinginkan oleh dokter. Baik obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, narkotik maupun psikotropik. Jadi seorang pasien akan dengan mudah mendapatkan obat-obatan tersebut dengan resep. Karena begitu pentingnya sebuah resep sebagai dokumen legal maka diharapkan seorang dokter tidak meletakkan blanko resep secara sembarangan karena dikhawatirkan dipergunakan oleh orang untuk mendapatkan obat yang seharusnya dia tidak gunakan.
3.      Sebagai catatan terapi
Seorang dokter hendaknya menuliskan resep rangkap dua, dimana yang pertama diberikan kepada pasien untuk menebus obat di apotek, sedangkan yang kedua sebagai arsip dan catatan bahwa pasien tersebut telah mendapatkan terapi dengan obat-obat yang ada di arsip tersebut.
4.      Merupakan media komunikasi




Sebuah resep merupakan sarana komunikasi antara dokter-apoteker-pasien. Apoteker akan tahu seorang pasien akan diberi obat apa saja, berapa jumlahnya, apa bentuk sediaannya, berapa kali sehari dan kapan harus meminumkannya.

Kertas Resep

Resep dituliskan di atas suatu kertas resep. Ukuran yang ideal ialah lebar 10-12 cm dan panjang 15-18 cm. Dokumentasi berupa pemberian obat kepada penderita memang seharusnya dengan resep; permintaan obat melalui telepon hendaknya dihindarkan. Blanko kertas resep hendaknya oleh dokter disimpan di tempat yang aman untuk menghindarkan dicuri atau disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, antara lain dengan menuliskan resep palsu meminta obat bius. Kertas resep harus disimpan, diatur menurut urutan tanggal dan nomor urut pembuatan serta disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Setelah lewat tiga tahun, resep-resep oleh apotek boleh dimusnahkan dengan membuat berita acara pemusnahan seperti diatur dalam SK.Menkes RI No.270/MenKes/SK/V/1981 mengenai penyimpanan resep di apotek.

Model Resep

Resep harus ditulis dengan lengkap, supaya dapat memenuhi syarat untuk dibuatkan obatnya di Apotek. Resep yang lengkap terdiri atas:
1.   Nama dan alamat dokter serta nomor surat izin praktek, dan dapat pula dilengkapi dengan nomor telepon, jam, dan hari praktek.
2.      Nama kota serta tanggal resep itu ditulis oleh dokter.
3.      Tanda R/, singkatan dari recipe yang berarti “harap diambil” (superscriptio).
4.      Nama setiap jenis atau bahan obat yang diberikan serta jumlahnya (inscriptio).
a)      Jenis/bahan obat dalam resep terdiri dari :
·   Remedium cardinale atau obat pokok yang mutlak harus ada. Obat pokok ini dapat berupa bahan tunggal, tetapi juga dapat terdiri dari beberapa bahan.
·   Remedium adjuvans, yaitu bahan yang membantu kerja obat pokok; adjuvans tidak mutlak perlu ada dalam tiap resep.
·   Corrigens, hanya kalau diperlukan untuk memperbaiki rasa, warna atau bau obat (corrigens saporis, coloris dan odoris)
·   Constituens atau vehikulum, seringkali perlu, terutama kalau resep berupa komposisi dokter sendiri dan bukan obat jadi. Misalnya konstituens obat minum air.
b)      Jumlah bahan obat dalam resep dinyatakan dalam suatu berat untuk bahan padat (mikrogram, miligram, gram) dan satuan  isi untuk cairan (tetes, milimeter, liter).
Perlu diingat bahwa dengan menuliskan angka tanpa keterangan lain, yang dimaksud ialah “gram”
2.      Cara pembuatan atau bentuk sediaan yang dikehendaki (subscriptio) misalnya f.l.a. pulv = fac lege artis pulveres = buatlah sesuai aturan obat berupa puyer.
3.      Aturan pemakaian obat oleh penderita umumnya ditulis dengan singkatan bahasa Latin. Aturan pakai ditandai dengan signatura, biasanya disingkat S.
4.      Nama penderita di belakang  kata Pro : merupakan identifikasi penderita, dan sebaiknya dilengkapi dengan alamatnya yang akan memudahkan penelusuran bila terjadi sesuatu dengan obat pada penderita.
Tanda tangan atau paraf dari dokter/dokter gigi/dokter hewan yang menuliskan resep tersebut yang menjadikan resep tersebut otentik. Resep obat suntik dari golongan narkotika harus dibubuhi tanda tangan lengkap oleh dokter/dokter gigi/dokter hewan yang menulis resep, dan tidak cukup dengan paraf saja.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penulisan resep adalah:
  1. Resep harus ditulis dengan  tinta
  2. Penulisan nama obat, jumlah, cara pemakain harus terbaca olaeh apoteker atau asisten apoteker.
  3. Menulis nama obat harus dengan huruf latin untuk zat kimianya atau nama generiknya.
  4. Hindarkan penulisan singkatan yang meragukan.
  5. Dalam pemilihan obat perlu juga memperhatikan tingkat ekonomi penderita.

Resep dikatakan sah bila mencantumkan hal-hal berikut:
  1. Untuk resep dokter swasta terdapat nama, izin kerja, alamta praktek dan rumah, serta paraf dokter pada setiap signatura.
  2. Resep dokter rumah sakit/klinik/poli klinik terdapat nama dan alamat rumah sakit/klinik/poliklinik, nama dan tanda tangan/paraf dokter penulis resep tersebut serta bagian/unit di rumah sakit.
  3. Pemberian tanda tangan untuk golongan narkotik dan psikotropik.
  4. Pemakaian singkatan bahasa latin dalam penulisan resep harus baku.
Cara penulisan resep ada 3 macam, yaitu:
  1. Formula magistralis dimana obat ini merupakan racikan, sesuai dengan formula yang ditulis oleh dokter yang membuat resep tersebut.
  2. Formula officinalis dimana obat ini merupakan racikan yang formulanya sudah standar dan dibakukan dalam formularium Indonesia dan diracik oleh apotek apabila diminta oleh dokter pembuat resep.
  3. Formula spesialistis dimana obat ini sudah jadi, diracik oleh pembuatnya, dikemas dan diberi nama oleh pabrik pembuatnya serta bentuk sediaannya lebih kompleks.
Seni dan Keahlian Menulis Resep yang Tepat dan Rasional 
Penulisan resep adalah “tindakan terakhir” dari dokter untuk penderitanya, yaitu setelah menentukan anamnesis, diagnosis dan prognosis serta terapi yang akan diberikan; terapi dapat profilaktik, simptomatik atau kausal. Penulisan resep yang tepat dan rasional merupakan penerapan berbagai ilmu, karena begitu banyak variabel-variabel yang harus diperhatikan, maupun variabel unsur obat dan kemungkinan kombinasi obat, ataupun variabel penderitanya secara individual. Resep yang jelas adalah tulisannya terbaca. Misalnya nama obatnya ditulis secara betul dan sempurna/lengkap. Nama obat harus ditulis yang betul, hal ini perlu mendapat perhatian karena banyak obat yang tulisannya atau bunyinya hampir sama, sedangkan khasiatnya berbeda. Resep yang tepat, aman, dan rasional adalah resep yang memenuhi lima tepat, ialah sebagai berikut : setelah diagnosanya tepat maka kemudian memilih obatnya tepat yang sesuai dengan penyakitnya diberikan dengandosis yang tepat, dalam bentuk sediaan yang tepat, diberikan pada waktu yang tepat, dengan cara yang tepat, dan untuk penderita yang tepat.
Resep yang tepat, aman, dan rasional adalah resep yang memenuhi lima tepat, ialah sebagai berikut:
1.           Tepat obat; obat dipilih dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko, rasio antara manfaat dan harga, dan rasio terapi.
2.        Tepat dosis; dosis ditentukan oleh faktor obat (sifat kimia, fisika, dan toksisitas), cara pemberian obat (oral, parenteral, rectal, local), factor penderita (umur, berat badan, jenis kelamin, ras, toleransi, obesitas, sensitivitas individu dan patofisiologi).
3.          Tepat bentuk sediaan obat; menentukan bentuk sediaan berdasarkan efek terapi maksimal, efek samping minimal, aman dan cocok, mudah, praktis, dan harga murah.
4.      Tepat cara dan waktu penggunaan obat; obat dipilih berdasarkan daya kerja obat, bioavaibilitas, serta pola hidup penderita (pola makan, tidur, defekasi, dan lain-lain).
5.        Tepat penderita; obat disesuaikan dengan keadaan penderita yaitu bayi, anak-anak, dewasa dan orang tua, ibu menyusui, obesitas, dan malnutrisi.

Beberapa kebiasaan peresepan yang tidak rasional akan mempengaruhi mutu pengobatan dan pelayanan secara langsung atau tidak langsung. Secara luas mempunyai pengaruh terhadap upaya penurunan mortalitas dan morbiditas penyakit-penyakit tertentu, misalnya kebiasaan selalu memberikan antibiotik dan antidiare terhadap kasus-kasus diare akut, dengan melupakan pemberian oralit akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas dari setiap kasus diare dengan penanganan tersebut.
Pemakaian obat-obatan tanpa indikasi yang jelas merupakan pemborosan dipandang dari sisi pasien maupun sistem pelayanan. Penulis resep mungkin kurang memperhatikan dampak ekonomi ini, tetapi hal ini akan menimbulkan kerugian dari segi ekonomi dan psikososial pasien.