Rabu, 05 November 2014

D

PENDAHULUAN

Kalau Apoteker boleh berkomunikasi dengan pasien, apakah akan membingungkan pasien dandapat menganggu hubungan pasien dengan dokter yang merawatnya. Selama ini tidak banyak masalah-masalah mengenai obat yang dijumpai di bangsal dan cukup diselesaikan oleh perawatdan nasehat dokter. Kehadiran Apoteker akan menambah biaya pengeluaran bagi Rumah Sakityang selama ini sudah dirasakan berat oleh pasien dan rumah sakit. Apoteker tidak memiliki pengalaman klinis, keadaan ini akan menyulitkan komunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya.Apakah yang akan dilakukan oleh Apoteker apabila menjumpai pengobatan yang dianggap tidak rasional? Inilah beberapa komentar yang sering didengar di antara perawat dan dokter ketika pengenalan program pelayanan farmasi klinis disosialisasikan di rumah sakit. Begitu asing dan penuh pertanyaan bagi tenaga kesehatan lainnya di rumah sakit yang selama ini hanya sebataslayanan farmasi produk (perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian).

a.     Pengantar farmasi
Farmasi berasal dari kata “PHARMACON” yang berarti obat atau racun. Sedangkan pengertian farmasi adalah suatu profesi di bidang kesehatan yang meliputi kegiatan-kegiatan di bidang penemuan, pengembangan, produksi, pengolahan, peracikan, dan distribusi obat.
Tanggung jawab seorang ahli farmasi adalah bertanggung jawab atas kesehatan dan keselamatan manusia/pasien yang membutuhkannya.
Dalam ilmu farmasi ada empat bidang yang dipelajari, yaitu farmasi klinik, farmasi industri, farmasi sains, dan farmasi obat tradisional.
Kemampuan penunjang yang harus dimiliki adalah senang dan familiar dengan fisika, kimia, biologi, dan matematika; ketelitian dan kecermatan; hapalan dan kemampuan analisa; dan suka bekerjadi laboraturium.



b.    Ilmu farmasi
 Farmasi didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan bahan obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan pada pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan mengenai identifikasi, pemilahan, aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan, analisis, dan pembakuan bahan obat dan sediaan obat. Pengetahuan kefarmasian mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai dan aman, baik melalui resep dokter berizin, dokter gigi, dan dokter hewan, maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara menyalurkan atau menjual langsung kepada pemakai.
Sebagian besar kompetensi farmasi ini diterjemahkan menjadi produk yang dikelola dan didistribusikan secara professional bagi yang membutuhkannya. Pengetahuan farmasi disampaikan secara selektif kepada tenaga professional dalam bidang kesehatan dan kepada orang awam dan masyarakat umum agar pengetahuan mengenai obat dan produk obat dapat memberikan sumbangan nyata bagi kesehatan perorangan dan kesejahteraan umum masyarakat.

c.      Perkembangan farmasi
            Sudah terjadi perubahan pekerjaan kefarmasian di apotek dan peranan apoteker lambat laun berubah dari peracik (compunder) dan supplier sediaan farmasi ke arah pemberian pelayanan dan informasi dan akhirnya berubah lagi sebagai pemberi kepedulian pada pasien. Disamping itu, ditambah lagi tugas seorang apoteker adalah memberikan obat yang layak lebih efektif, lebih aman serta memuaskan pasien. Pendekatan cara ini disebut dengan pharmaceutical care (asuhan kefarmasian)

d.    Singkatan atau nama latin
    Daftar Singkatan Latin dalam Resep Dokter – Dokter menulis resep obat untuk pasiennya menggunakan singkatan bahasa latin yang sudah lazim. Akan tetapi, pada orang awam hal ini terlihat lebih sulit dimengerti karena bahasanya yang lain daripada yang lain.
 Contoh dari singkatan atau nama latin dalam kefarmasian :
·         R/ ecipe ambillah
·         m.f.l.a. misce fac lege artis campur dan buatlah menurut cara semestinya
·          pulv pulveres  serbuk terbagi(puyer)
·         d.t.d da tales dosis berikan sebanyak dosis tersebut
·          No numero sejumlah
·         signa tandailah
·         3dd.pulv.I ter de die pulveres I 3xsehari 1 puyer

e.      Pengelolahan resep
Begitu banyaknya resep obat yang masuk ke suatu apotek, baik itu obat bebas, bebas terbatas, keras, Narkotika dan psikotropika, maka pihak apotek perlu melakukan pengelolaan pada resep obat yang diterima. Berikut adalah pengelolaannya.

A . Pengelolaan Obat Wajib Apotek (Owa)
Apoteker dapat menyerahkan Obat Keras tanpa resep dokter kepada pasien. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.347/MENKES/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek. Adapun latar belakang dari keputusan Menteri Kesehatan tersebut adalah :
1)Meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman, dan rasional.
2)Meningkatkan peran apoteker dalam KIE. 
Oleh karena itu perlu ditetapkan keputusan menteri kesehatan tentang obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter di apotek. Hal ini tercantum dalam Permenkes No. 919/Menkes/Per/1993 tentang kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep, yaitu :
1)Tidak dikontraindikasikan untuk wanita hamil, anak dibawah 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
2)Tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit.
3)Penggunaan tidak memerlukan cara/alat khusus yang harus dilakukan oleh/bantuan tenaga kesehatan.
4)Untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia
5)Memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam keputusan ini, pelayanan OWA yang dilakukan oleh apoteker harus memenuhi cara dan ketentuan, diantaranya sebagai berikut :
1)Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien
2)Membuat catatan pasien dan obat yang diberikan
Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakai, kontra indikasi, efek samping, dan lain-lain yang perlu diperhatikan pasien.
B. Pengelolaan Narkotika Dan Psikotropika
Tujuan diadakannya pengelolaan narkotika dan psikotropika adalah untuk mencegah penyalahgunaan obat narkotika dan psikotropika. Sehingga obat-obat narkotika dan psikotropika harus ditangani secara khusus.
1)Narkotika
Narkotika berdasarkan UU Kesehatan No. 2 tahun 1997 pasal 1, adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

a)Pengeluaran Narkotika
Narkotika hanya diberikan kepada pasien yang membawa resep dokter. Resep yang terdapat narkotika diberi tanda garis bawah berwarna merah kemudian dipisahkan untuk dicatat dalam buku register narkotika. Pencatatan meliputi tanggal, nomor resep, tanggal pengeluaran, jumlah obat, nama pasien, alamat pasien, dan nama dokter. Dilakukan pencatatan tersendiri untuk masing-masing nama obat narkotika. Untuk setiap pengeluaran narkotika dicatat dalam kartu stelling, kemudian dicatat pada buku narkotika yang digunakan sebagai pedoman dalam pembuatan laporan bulanan yang dikirim ke Dinas Kesehatan Propinsi, Balai Besar POM Propinsi, Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi dan sebagai arsip yang dilaporkan setiap tanggal 10 tiap bulan. Untuk setiap penggunaan obat tersebut dicatat jumlah pengeluaran dan sisa yang ada, jika ada perbedaan dilakukan pengontrolan lebih lanjut. Hal ini untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan obat.
b)Pemusnahan Narkotika
Sesuai dengan pasal 60 dan 61 UU No. 22 tahun 1997 pemusnahan narkotika harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
(1)Dikarenakan obat kadaluwarsa
(2)Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan untuk pelayanan kesehatan
(3)Dilakukan dengan menggunakan berita acara yang memuat:
    (a)Nama, jenis, sifat dan jumlah
    (b)Keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun.
    (c)Tanda tangan dan identitas pelaksana dan pejabat yang menyaksikan (ditunjuk oleh MenKes).
(4)Ketentuan lebih lanjut syarat dan tata cara pemusnahan diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
c)Pelaporan
Laporan penggunaan narkotika setiap bulannya dikirim ke Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial kabupaten/kota dan dibuat tembusan ke Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial propinsi, Balai Besar POM  dan untuk arsip apotek. Pelaporan selambat-lambatnya tanggal 10 tiap bulannya. Laporan bulanan narkotika berisi nomor urut, nama sediaan, satuan, jumlah pada awal bulan, pemasukan, pengeluaran, dan persediaan akhir bulan serta keterangan. Khusus untuk penggunaan morphin, pethidin, dan derivatnya dilaporkan dalam lembar tersendiri disertai dengan nama dan alamat pasien serta nama dan alamat dokter.
2)Psikotropika
UU No.5 tahun 1997 tentang psikotropika menyatakan bahwa psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun sintesa yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. 
Berdasarkan UU No.5 Tahun 1997, pasal 3 tentang Psikotropika, tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah:
a)Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan.
b)Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropik.
c)Memberantas peredaran gelap psikotropik

(1)Pengadaan 
Menurut UU No.5 tahun 1997 pemesanan psikotropika menggunakan surat pesanan yang telah ditandatangani oleh apoteker kepada PBF atau pabrik obat. Penyerahan psikotropika oleh apoteker hanya dapat dilakukan untuk apotek lain, Rumah Sakit, Puskesmas, Balai Pengobatan, dokter dan pelayanan resep dokter
(2)Penyimpanan
Penyimpanan obat golongan psikotropika belum diatur oleh peraturan perundang-undangan. Obat-obat psikotropik cenderung disalahgunakan, maka disarankan penyimpanan obat-obat golongan psikotropika diletakan tersendiri dalam rak atau lemari khusus.
(3)Pengeluaran
Penggunan psikotropika perlu dilakukan monitoring dengan mencatat resep-resep yang berisi psikotropika dalam buku register psikotropika yang berisi nomor, nama sediaan, satuan, persediaan awal, jumlah pemasukan, nama PBF, nomor faktur PBF, jumlah pengeluaran, persediaan akhir, nama pasien dan nama dokter.
Penyerahan psikotropika menurut pasal 14 UU No. 5 tahun 1997:
a)Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan dan dokter.
b)Penyerahan psikotropik oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.
c)Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan, puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan kepada pengguna/pasien.
d)Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
e)Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal:
   (1)Menjalankan praktek terapi dan diberikan melalui suntikan.
   (2)Menolong orang sakit dalam keadaan darurat.
   (3)Menjalankan tugas di daerah terpencil.
f)Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat diperoleh dari   apotek.
(4)Pemusnahan
Pemusnahan psikotropika dilakukan karena:
(a)Kadaluarsa
(b)Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan.
(c)Dilakukan dengan pembuatan berita acara yang memuat: nama, jenis, sifat dan jumlah, keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun, tanda tangan dan identitas pelaksana dan pejabat yang menyaksikan (ditunjuk MenKes).
(5)Laporan 
Laporan penggunaan psikotropika dikirim kepada Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Balai Besar POM , dan untuk arsip apotek. Pelaporan selambat-lambatnya tanggal 10 tiap bulannya. Laporan bulanan psikotropika berisi nomor urut, nama sediaan jadi (paten), satuan, jumlah awal bulan, pemasukan, pengeluaran, persediaan akhir bulan serta keterangan.
c. Pengelolaan Obat Ed
Obat-obat yang rusak dan kadaluarsa merupakan kerugian bagi apotek, oleh karenanya diperlukan pengelolaan agar jumlahnya tidak terlalu besar. Obat-obat yang rusak akan dimusnahkan karena tidak dapat digunakan dan tidak dapat dikembalikan lagi ke PBF. 
Obat kadaluarsa yang dibeli oleh apotek dapat dikembalikan ke PBF sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati antara kedua belah pihak. Batas waktu pengembalian obat yang kadaluarsa yang ditetapkan oleh PBF 3-4 bulan sebelum tanggal kadaluarsa, tetapi ada pula yang bertepatan dengan waktu kadaluarsanya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 922/MenKes/Per/X/1993 pasal 12 ayat (2), menyebutkan bahwa obat dan perbekalan farmasi lainnya yang karena sesuatu hal tidak dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Pada pasal 13 menyebutkan bahwa pemusnahan yang dimaksud dilakukan oleh Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pengganti, dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek yang bersangkutan, disaksikan oleh petugas yang ditunjuk Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan setempat. Pada pemusnahan dengan bentuk yang telah ditentukan dalam rangkap lima yang ditandatangani oleh Apoteker Pengelola atau Apoteker Pengganti dan petugas Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan setempat. Pemusnahan obat-obat narkotika dan psikotropika yang sudah kadaluarsa dilaksanakan oleh apoteker dengan disaksikan oleh petugas Dinas Kesehatan dan sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek. Sedangkan untuk obat non narkotika-psikotropika dilaksanakan oleh apoteker dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek.  
f.      Penglolahan apotik
Pengelolaan apotek merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukanoleh seorang apoteker dalam rangka memenuhi tugas dan fungsi apotek.Pengelolaan apotek sepenuhnya berada ditangan apoteker, oleh karena ituapoteker harus mengelola secara efektif sehingga obat yang disalurkankepada masyarakat akan lebih dapat dipertanggung jawabkan, karenakualitas dan keamanannya selalu terjaga. Pengelolaan apotek dibedakanatas:
a.      Pengelolaan teknis farmasiBerdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
      No.1332/Menkes/SK/2002,Bab VI pasal 10, dibidang kefarmasian pengelolaan apotek meliputi:
1)Pembuatan, pengelolaan, peracikan, perubahan bentuk,pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat
2)Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalanfarmasi lainnya
3)Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi yang meliputi:
a)Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasilainnya yang diberikan baik kepada dokter atau tenagakesehatan lainnya maupun kepada masyarakat
b)Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat,keamanan, bahaya, mutu obat dan perbekalan lainnya.Hal lainnya yang harus diperhatikan dalam pengelolaan apotek adalah:
1)Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan danmenyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dankeabsahannya terjamin
2)Obat dan perbekalan farmasi lainnya yang karena suatu hal tidak dapat digunakan atau dilarang digunakan, harus dimusnahkandengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang telahditetapkan oleh BPOM.
b. pengelolaan non teknis farmasi
Pengelolaan ini meliputi semua kegiatan administrasi, keuangan,personalia, kegiatan material (arus barang) dan bidang lainnya yangberhubungan dengan apotek.
g.     Permasalahan R/
 Pengertian umum Resep yaitu Permintaan tertulis dari dr, drg, drh kepadaApt untuk membuatkan obat dalam bentuk sediaan tertentu dan menyerahkannya kepada penderita.
·         dr(umum+spesialis) : tak ada pembatasan jenis obat
·         drg: pembatasan jenis obat untuk penyakitgigi
·         drh: tak ada pembatasan jenis obat, hanyauntuk hewan
Bagian-Bagian Resep
·         Inscriptio:identitas prescriberkota dan tanggal reseptanda R/
·         Praescriptio: jenis dan jumlah obat(Remedium Cardinale, R.ajuvan,Corigens,Vehikulum)cara pembuatan atau BSO
·         Signatura:aturan pakai (signa)identitas pasien
·         Subscriptio: paraf prescribertanda tangan (jika Inj.Narkotika)
                    
h.    Farmakope
Farmakope dapat diartikan sebagai Buku resmi yangditetapkan hukum dan memuat standarisasi obat-obat penting serta persyaratannya tentang identitas, kadar kemurnian dsb. Begitu pula metode-metode analisa dan resep-resep sediaan farmasi. Di dalamFarmakope Indonesiadicantumkan pula nama lain, nama generik dannama kimia.
Nama latin adalah nama obat dalam ejaan latin.
Nama Generik (International Non-proprieatary name / INN) adalah nama umum yang  disemua negara tanpa melanggar hak patent yang berlaku untuk obat tersebut.
Nama kimia adalah nama obat yang didasarkan nama unsur-unsur kimia yang membentuknya.Selain buku Farmakope, juga digunakan secara khusus buku lain antara lain Formularium Nasional dan buku Informasi Spesialis Obat (ISO) yang memuat nama-nama patent dan atau spesialit. Obat patent ialah obat produk dari suatuperusahaan dengan nama khas yang dilindungi hukum.
                              
i.       Nama obat
Obat yang dipasarkan tanpa resep dokter atau dikenal dengan nama OTC (Over the Counter) dimaksudkan untuk menangani penyakit-penyakit simtomatis ringan yang banyak diderita masyarakat luas yang penanganannya dapat dilakukan sendiri oleh penderita. Praktik seperti ini dikenal dengan nama self medication (penanganan sendiri).
 OBAT BEBAS
Obat bebas dapat dijual bebas di warung kelontong, toko obat berizin serta apotek. Dalam pemakaiannya, penderita dapat membeli dalam jumlah sangat sedikit saat obat diperlukan, jenis zat aktif pada obat golongan ini relatif aman sehingga pemakaiannya tidak memerlukan pengawasan tenaga medic selama diminum sesuai petunjuk yang tertera pada kemasan obat. Oleh karena itu, sebaiknya obat golongan ini tetap dibeli bersama kemasannya. Obat golongan ini ditandai dengan lingkaran berwarna hijau di Indonesia.Yang termasuk golongan obat ini: obat analgetik/pain killer, vitamin dan mineral. Di Australia obat-obatan herbal dan homeopati termasuk golongan ini, sedangkan di Indonesia obat alami digolongkan sebagai Obat Tradisional (TR) bukan Obat Bebas (OB).
OBAT BEBAS TERBATAS
Seharusnya obat jenis ini hanya dapat dijual bebas di toko obat berizin (karena dipegang seorang Asisten Apoteker (AA) serta apotek (yang hanya boleh beroperasi bila ada Apoteker Pengelola Apotek (APA) karena diharapkan pasien memperoleh informasi obat yang memadai saat membeli Obat Bebas Terbatas (OBT). Di indonesia golongan obat ini ditandai dengan R (bersama dengan golongan obat dengan resep). Contohnya : pain relief, obat batuk, obat pilek dan krim antiseptik. Obat golongan ini ditandai dengan lingkaran berwarna biru, disertai tanda peringatan dalam kemasannya.

j.       Obat esensial
Obat esensial adalah obat  terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya  diagnosis,  profilaksis,  terapi  dan  rehabilitasi,  yang  diupayakan  tersedia  pada  unit pelayanan kesehatan sesuai dengan  fungsi dan  tingkatnya.
Konsep Obat Esensial di  Indonesia mulai diperkenalkan dengan dikeluarkannya  Daftar Obat Esensial Nasional  (DOEN) yang pertama  tahun 1980, dan dengan  terbitnya Kebijakan Obat Nasional pada tahun 1983. DOEN direvisi secara berkala setiap 3-4  tahun.  DOEN yang  terbit sekarang  ini merupakan revisi  tahun 2008.  Komitmen pemerintah melakukan  revisi berkala merupakan prestasi  tersendiri.

k.    Perhitungan dosis obat
Dosis obat merupakan faktor penting, karena baik kekurangan atau kelebihan dosis akan menghasilkan efek yang tidak diinginkan, bahkan sering membahayakan. Yang dimaksud dosis suatu obat adalah dosis pemakaian sekali, per oral untuk orang dewasa, kalau kalau yang dimaksud bukan dosis tersebut diatas harus dengan keterangan yang jelas. Misalnya pemakaian sehari, dosis untuk anak, dosis per injeksi, dan seterusnya.
Macam – macam Dosis
1. Dosis Maksimum ( DM ) adalah dosis / takaran maksimum / terbanyak yang dapat diberikan (berefek terapi) tanpa menimbulkan bahaya.
2. Dosis lazim ( DL ) adalah dosis yang tercantum dalam literatur merupakan dosis yang lazimnya dapat menyembuhkan. Dosis lazim dan dosis maksimum terdapat dalam FI ed III, juga Farmakope lain. Tetapi DM anak tidak terdapat dalam literatur. Maka DM untuk anak dapat dihitung dengan membandingkan kebutuhan anak terhadap dosis maksimum dewasa.
Pada kompetensi menerapkan pembuatan sediaan obat sesuai resep dokter di bawah pengawasan apoteker proses perhitungan dosis lazim menjadi bagian yang sangat penting karena semua bahan obat/ obat harus diperhitungkan Dosis Lazimnya sesuai dengan umur pasien dan dibandingkan dengan dosis obat yang digunakan pasien sesuai resep dokter. Pemakaian/ dosis obat untuk pasien harus tepat atau sesuai dengan Dosis Lazim supaya efek terapi tercapai, jika pada perhitungan dosis ternyata pemakaian obatnya kurang atau lebih dari DL maka harus ditanyakan kepada dokter pembuat resep karena ada banyak hal yang mempengaruhi dosis yang diberikan pada pasien, apabila dokter berkehendak maka resep dapat diracik, sebaliknya jika dokter menghendaki supaya pemakaiannya ditepatkan supaya efek terapi tercapai maka Apoteker/ Asisten Apoteker harus dapat melakukan perhitungan untuk melakukan penyesuaian dosis sehingga jumlah obat akan diganti oleh dokter supaya berefek terapi optimal untu pasien.
3. Dosis toksik adalah takaran obat dalam keadaan biasa yang dapat menyebabkan keracunan pada penderita.
4. Dosis Letalis adalah takaran obat yang dalam keadaan biasa dapat menyebabkan kematian pada penderita, dosis letalis terdiri dari:
a. LD 50 : takaran yang menyebabkan kematian pada 50% hewan percobaan.
b. LD 100 : takaran yang menyebabkan kematian pada 100% hewan percobaan.












Dasar Dasar Ilmu Farmasi
Oleh : Hartadi S,farm M.kes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar